Rabu, 23 Desember 2020
Kawasan Pusat Perbelanjaan Di Era Pandemi
Selasa, 22 Desember 2020
Cinta?
Penulis : Fredrik Backman
Penerbit : Noura Books
Cetakan/tahun terbit : 1, Januari 2016
Halaman : 440
ISBN :978-602-385-023-5
Rabu, 16 Desember 2020
Vaksinasi Gratis Pada Masyarakat
Selasa, 15 Desember 2020
Feminisme Dalam Buku Entrok
Rabu, 25 November 2020
Pemerasan Pekerja Migran
Selasa, 24 November 2020
Nh Dini dan Karya Sastra
Rabu, 18 November 2020
Ketika Kawasan Konservasi Terjamah
Selasa, 17 November 2020
Rindu Harus Dibayar Tuntas
Rabu, 11 November 2020
PROSES
Minggu, 28 Juni 2020
Kerisauan Wacana New Normal
Kabarnya, kebijakan new normal akan ditetapkan di Indonesia. Kebijakan baru kali ini tidak jauh berbeda seperti melakukan aktivitas biasa saat pandemi belum ada. Masyarakat harus mau hidup bersahabat dengan virus corona ini tetapi masih dianjurkan untuk mengikuti protokol kesehatan yang ada, seperti cuci tangan, jaga jarak, memakai masker, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan lain-lain. Namun, beberapa masyarakat masih belum menerima kebijakan ini karena mengingat penyebaran virus corona sudah mencapai 30 ribu lebih, wajar saja jika masyarakat masih khawatir mengikutinya.
Memang, kita semua tahu bahwa faktanya virus ini menular melalui benda yang sudah terkena virus Covid-19 dan melalui udara. Jadi masih aman jika kita beraktivitas normal dengan mematuhi protokol kesehatan. Dan jangan menganggap PSBB menjadi penghalang untuk melakukan new normal karena hal itu merupakan salah satu pemutus tersebarnya covid. Bagaimana tidak, PSBB menjadikan kita agar tidak membuat gerombolan baru di tempat umum.
Jika masih terus-menerus menunggu wabah ini mereda akan membutuhkan waktu yang lama dan tidak pasti. Bahkan para peneliti mengatakan virus ini tidak diketahui kapan akan berakhir dan pakar kesehatan pun belum menemukan vaksin. Memang rasa takut itu wajar tetapi, apakah kalian betah dengan melakukan aktivitas dirumah saja yang entah sampai kapan berakhir? kuliah dirumah, kerja dirumah, pemandangan yang kita lihat setiap hari hanyalah tembok kamar. Beberapa orang mulai krisis keuangan, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pengangguran meningkat dan masih banyak lagi.
Aku rasa, kebijakan kali ini adalah kebijakan yang tepat, karena semua orang bisa kembali melakukan kegiatan masing-masing, parawisata berjalan normal, perekonomian pulih, dan sudah tidak akan ada lagi keluhan bodoh karena pendidikan tidak lagi melalui daring. Aku membayangkan betapa riangnya perasaan orang-orang dan rasanya masyarakat sudah bisa hidup berdampingan dengan virus ini, karena disaat kebijakan PSBB masyarakat yang bandel ingin keluar masih patuhi protokol kesehatan.
Apabila kebijakan ini nantinya diikuti oleh masyarakat, seharusnya pemerintah juga siap untuk menangani covid secara cepat agar virus ini tidak melonjak ketika masa new normal dan berguna untuk menghilangkan stereotip jelek masyarakat terhadap new normal. Selain pemerintah, masyarakat harusnya juga ikut andil jangan hanya mengandalkan pemerintah saja. Cukup dengan membiasakan menjaga kebersihan, memang agak sulit menjadikan sesuatu yang tidak biasa menjadi suatu kebiasaan, tapi ini demi kebutuhan diri sendiri dan orang lain.
Terlepas dari polemik kebijakan new normal yang pro dan kontra, semua memang tergantung bagaimana cara kita memandang kebijakan itu. Menyalahkan pemerintah dan wabah terus-menerus tidak memberikan dampak apapun. Untuk itu diperlukan kesadaran dari individu agar new normal berjalan lancar dan baik-baik saja. Tidak semua hal yang kita anggap jelek selamanya akan jelek, begitu juga sebaliknya. Virus ini juga membawa dampak baik terhadap lingkungan, betapa bahagianya rakyat Jakarta yang melihat langitnya biru karena polusi berkurang, hewan-hewan Taman Safari di Pasuruan menjadi lebih aktif karena tidak ada pengunjung lalu lalang menggangunya. Anggaplah new normal adalah jalan menuju kehidupan baru yang lebih baik dengan mementingkan kesehatan.
Jumat, 29 Mei 2020
Silaturahmi di tengah Covid-19
Hari raya Idul Fitri identik dengan silaturahmi. Akan tetapi di tengah-tengah Hari Raya Idul Fitri nanti akan berdampingan dengan wabah Covid-19 yang tak berkesudahan. Wabah tersebut menyebabkan orang-orang tidak bisa melakukan silaturahmi ke sanak saudara, guna mencegah tertularnya wabah Covid-19.
Di sisi lain, silaturahmi memiliki makna bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Silaturahmi sudah seperti budaya yang mengakar sejak turun temurun. Dengan menjalin silaturahmi bisa mempererat hubungan keluarga, bisa menghilangkan rasa cemas, dan menambah teman. Jadi kegiatan silaturahmi sangat dianjurkan sebab memiliki dampak positif bagi kehidupan, seperti dalam anjuran Q.S An-nisa ayat 1.
Akan tetapi hal ini berbanding terbalik dengan kebijakan pemerintah yang melarang kegiatan silaturahmi dan menganjurkan untuk melakukan silaturahmi secara online. Seperti yang kita ketahui, tidak mudah untuk melakukan silaturahmi online banyak hambatan yang terjadi seperti sinyal buruk atau fasilitas gadget yang kurang menunjang. Adapun beberapa orang tua yang belum tentu bisa menggunakan gadget. Lagipula melakukan silaturahmi online akan tercipta jarak, dan saya yakin para manusia lebih disibukkan dengan waktunya, lupa sanak saudara.
Lalu, jika tujuan silaturahmi online dilakukan guna mengurangi jumlah korban Covid-19, tentu tidak dibenarkan. Yang saya ketahui, Covid-19 sama seperti flu biasa yang sering terjadi, tanpa perlu dibesar-besarkan, dan ditakuti. Bukan bermaksud meremehkan, tapi nyatanya yang terjangkit flu tersebut orang-orang yang lanjut usia dan memiliki riwayat penyakit kronis, dalam artian bukan murni karena Covid-19. Pemerintah terlalu berlebihan dalam menyikapi Covid-19, sehingga masyarakat ketakutan.
Saya lebih memilih melakukan silaturahmi seperti pada umumnya, bukan daring. Ada banyak solusi yang ditawarkan guna mencegah penyebaran tanpa perlu meniadakan silaturahmi. Caranya seperti masing-masing individu membawa handsanitazer atau tuan rumah menyiapkan air dan sabun depan rumah, menggunakan masker, salaman jarak jauh, dan sebagainya.
Di realitanya banyak orang yang tetap melakukan mudik untuk mengunjungi sanak keluarga di desa. Bahkan alat transportasi umum sudah ramai oleh para pemudik, bisa disimpulkan bahwa masyarakat tidak takut tertular dan tahu bagaimana cara mencegah Covid-19. Dan sepertinya kebijakan pemerintah mengenai silaturahmi secara online gagal.
Semestinya pemerintah bisa memberikan solusi yang lebih relevan dan sesuai dengan karakteristik masyarakat Indonesia. Bukan memberikan solusi yang dengan cara online. Jika pemerintah tetap menyalahkan Covid-19, tentu akan sia-sia. Ya mengingat masyarakat Indonesia nakal-nakal. Pemerintah terlalu berlebihan dalam menanggapi Covid-19 yang menyebabkan masyarakat overthinking. Lagipula kegiatan silaturahmi itukan baik dan setiap kebaikan akan diberi kemudahan oleh Tuhan. Untuk apa mengkhawatirkan sebuah wabah. Wabah tetaplah wabah.
Sedang bagi pemerintah daerah yang menerapkan kebijakan silaturahmi secara online. Alangkah baiknya jika pemerintah daerah setempat memberikan fasilitas berupa Wi-Fi atau paket data gratis guna menunjang kelancaran pelaksanaan silaturahmi. Atau pemerintah daerah memberikan sosialisasi kepada warga, sebab ada warga yang belum mengetahui kebijakan tersebut. Selebihnya dibutuhkan pengertian antara pemerintah dan masyarakat guna mencapai keberhasilan adanya kebijakan tersebut. Ini demi kemaslahatan seluruh umat manusia.
Akan tetapi sangat disayangkan, jujur saya tidak sependapat dengan kebijakan pemerintah seperti itu. Untuk apa diberlakukan silaturahmi secara online, tak ada salahnya meluangkan waktu sejenak untuk mengunjungi keluarga. Tak perlu berkunjung di keluarga jauh. Sebaiknya jika ada berkunjung dan meminta maaf ke keluarga terdekat lebih dahulu, untuk keluarga yang berjauhan bisa menyusul di hari kedua atau ketiga. Semoga wabah Covid-19 segera berakhir sebelum hari raya Idul Fitri tiba.
Selasa, 21 April 2020
Eksploitasi Perempuan dalam Iklan
Media massa merupakan salah satu hal penting dalam era globalisasi yang bisa memberikan informasi mengenai kebutuhan individu. Terdapat banyak jenis wadah informasi seperti iklan, selebaran dan pamflet. Iklan merupakan salah satu media massa yang menyajikan konten secara audio visual sehingga lebih efektif dan menarik untuk menggait konsumen.
Membahas tentang iklan, saat ini perempuan menjadi obyek atau role model yang paling sering digunakan untuk mempromosikan suatu produk. Dari produk masuk akal sampai yang absurd, maksudnya, produk iklan yang dibintangi perempuan mulai dari produk kecantikan, kesehatan, konsumtif itu masih masuk akal karena berkaitan langsung dengan peran perempuan. Namun yang membuat saya terheran, ketika iklan mobil mengapa menggunakan perempuan disampingnya, hal itu malah menimbulkan perspektif yang berbeda, seolah perempuan dijadikan sebagai obyek untuk memperindah saja. Dengan menampilkan perempuan berpakaian seksi dan terbuka, yang menjadikan daya tarik konsumen semakin tinggi.
Secara tak langsung iklan tersebut ingin mengeksploitasi perempuan, yaitu menampilkan keindahan pada tubuhnya. Iklan tersebut bisa menarik konsumen karena menampilkan kondisi fisik wanita, sehingga memiliki daya tarik tersendiri.
Namun saat ini, eksploitasi perempuan sudah semakin tidak wajar, pasalnya iklan Maybellin pun perempuan dijadikan model dengan mengenakan pakaian belahan, padahal produk iklannya tentang lipstick. Sepertinya hanya wanita saja yang dieksploitasi mungkin penyebabnya ada anggapan jika wanita lemah dan memiliki nilai jual tinggi dari penampilan fisiknya sehingga mengahsilkan keuntungan atau jadi bahan obyek untuk menyenangkan mata saja.
Memang wanita diberi keistimewaan oleh Tuhan seperti permata yang semestinya dijaga, bukan untuk di eksploitasi dan dijadikan keuntungan sebagai penghasil pundi-pundi uang. Dan saya tidak setuju ketika media iklan terlibat dalam mengeksploitasi wanita, karena secara tak langsung stigma masyarakat menganggap perempuan pantas diperlakukan demikian.
Memang tak mudah untuk menghapus stigma yang beredar di masyarakat, kalaupun ingin menghapus stigma itu semestinya masyarakat mulai memperlakukan wanita dengan mengedepankan martabat dan norma sosial yang lebih memanusiakan.
Akibatnya dengan adanya obyektifikasi menyebabkan perempuan menjadi gelisah dan kurangnya rasa percaya diri. Ketika menjadi obyektifikasi maka yang dilihat adalah fisiknya. Sehingga wanita dituntut untuk tampil sempurna dan ketika ekspektasi perempuan tidak tercapai akan berdampak depresi. Selain itu wanita akan menjadi sosok yang digambarkan oleh masyarakat dan menjadi konsumtif.
Dalam dunia internasional hak-hak tentang wanita terdapat dalam deklarasi Konfrensi PBB tentang wanita di Beijing, September 1995 menyatakan jika kendala besar bagi kaum perempuan dalam perjuangannya memeproleh kedudukan yang selayakanya dalam masyarakat, adalah citra negatif yang ditampilkan media massa, khususnya dalam iklan-iklan.
Dan dari beberapa sumber yang saya baca tentang komnas perempuan di Indonesia lebih fokus kepada pelecehan seksual dan belum menangani kasus eksploitasi apalagi dalam media massa seperti iklan. Sebenarnya hal ini yang luput dari kita semua, terlalu menganggap remeh tentang eksploitasi perempuan dalam iklan, menganggap yang demikian itu adalah sesuatu yang sudah lumrah terjadi dan menjadi tradisi masyarakat.
Di lingkungan kita memang tidak pandai mencegah dan memilih untuk mengobati. Bukankah saat kita berani melakukan sesuatu berawal dari melihat sesuatu terlebih dahulu. Begitulah awal mula kasus-kasus pelecehan seksual bisa terjadi karena eksploitasi perempuan yang tidak putus-putus di tampilkan dalam iklan. Mengingat di awal tadi sudah dijelaskan, iklan adalah salah satu wadah komersil yang ditujukan pada masyarakat. Masyarakat tidak mungkin memilih dan memilah konten yang baik, secara tidak langsung yang dilihat akan dinikmati sebagaimana wajarnya iklan.
Maka dari itu menurut saya lebih baik jika iklan tersebut tidak menunjukkan bagian tubuh wanita, dalam artian hanya memproduksi iklan saja tanpa mengumbar tubuhnya, jadi mengenakan pakaian yang sewajarnya saja. Dan lebih baik masyarakat tidak mengaitkan peran domestik seorang wanita dengan iklan. Bukankah semestinya perempuan dijaga dan dipandang dengan hormat.
Retardasi mental
Kesehatan merupakan salah satu anugerah dari Tuhan yang patut disyukuri tanpa kesehatan manusia tak akan bisa melakukan aktivitas seperti biasanya. Bagi saya arti sehat tidak hanya terletak pada fisik belaka, tetapi juga sehat secara jasmani dan rohani. Kesehatan rohani juga penting untuk keseimbangan jiwa, ketika seseorang mengalami ganggungan dalam jiwanya maka yang terjadi adalah ketidakseimbangan, sebagaimana yang terjadi pada mereka yang memiliki kondisi keterbelakangan mental atau kecerdasan yang di bawah rata-rata.
Kondisi kesehatan itu sering saya temukan dalam kehidupan sehari-hari. Sepupu saya adalah salah satu dari mereka yang memiliki keterbelakangan mental sejak lahir. Sebenaranya, kelainan mental dapat disebakan oleh berbagai macam sebab, di antaranya kecelakaan saat mengandung, kelainan genetik ,atau bahkan penyakit.
Sayangnya, kondisi semacam sepupu saya itu, sering disalah artikan oleh masyarakan setempat. Pemikiran yang mengaitkan kondisi mental dengan mitos-mitos setempat masih banyak diyakini masyarakat. Akibatnya, beredar segala macam praduga dan pandangan miring, seperti terkena jampi-jampi. Namin, mitos yang paling diyakini adalah kondisi tersebut merupakani karma yang disebabkan perbuatan orang tuanya di masa lalunya. Karma itulah yang mengakibatkan kondisi tak lazim pada si anak.
Di masyarakat seringkali orang yang memiliki keterbelakangan mental dianggap lebih rendah dibandingkan dengan orang pada umumnya, sehingga diperlakukan seenaknya saja. Terkadang perlakuan yang sama didapatkan pula dari keluarga sendiri seperti dipasung agar tidak mengganggu warga lainnya atau sekedar untuk menyembunyikan aib anak mereka. Seringnya, keluarga merasa malu ketika salah satu anggota keluarganya memiliki keterbelakangan mental lantaran pandangan masyarakat yang menganggap ha tersebut merupakan sebuah bencana atau karma.
Pada akhirnya, ketika seorang penyandang dipasung maka semakin bertambahlah derita yang didapat. Selain tak mendapat kebebasan, ia juga akan kehilangan teman serta mempersempit potensinya untuk berkembang. Rasanya, pemasungan kurang tepat apabila diterapkan kepada mereka yang mengalami keterbelakangan mental. Sebab selain bertentangan dengan hak asasi sebagai manusia, rasanya lebih baik jika mereka dibiarkan membaur dengan masyarakat sekitar, tentu dengan pengawasan.
Sebab bagaimana pun, mereka tetap membutuhkan interaksi sosial untuk perkembangan otaknya. Selain itu mereka juga perlu untuk memahami lingkungan sekitar dan yang paling penting adalah pendidikan. Memasing mereka tak ubahnya merenggut kebebasan dan hak mereka sebagai manusia.
Meskipun memiliki kecerdasan dibawah rata-rata, namun bukan berarti mereka tak memiliki potensi untuk mengembangkan diri. Malahan, Sering dari anak yang memiliki keterbelakangan mental meraih penghargaan, di berbagai kacah perlombaan. Maka dari itu, masri berhenti memandang mereka dengan sebelah mata.
Oleh karena hal-hal itu, salah apabila di antara kita masih mengucilkan mereka. Sebab, seyogyanya mereka membutuhkan dukungan dan pengertian untuk terus berproses dan mengembangkan dirinya. Untuk mewujudkan itu, pandangan miring maupun mitos yang kita sematakan pada mereka maupun keluarganya perlu segera dihapuskan. Pengucilan, intimidasi, dan kekerasan baik verbal maupun non verbal yang sering didapat orang-orang berkebutuhan khusus tersebut mesti kita cegah.
Sebab, pada hakikanya kita dan mereka adalah sama. Kita dan mereka adalah manusia yang menikmati kebabasan dan hak-hak sebagai manusia.
Selasa, 10 Maret 2020
Keistimewaan Seorang Guru di Madura
Bhuppa, bhabhu, ghuru, rato merupakan salah satu falsafah yang dipegang teguh orang Madura. Ungkapan yang bermakna ayah, ibu, guru ratu tersebut merupakan manifestasi dari kepatuhan orang Madura kepada figur-figur yang disebut.
Adanya ungkapan itu, secara tersirat menyatakan bahwa tokoh-tokoh yang disebut merupakan seseorang yang mesti di hormati oleh setiap Madura. Orang tua menempati urutan pertama yang disebut. Hal tersbut barangkali lantaran mengingat ayah yang bekerja keras dan ibu yang melahirkan, merawat dan mendidik sedari kecil.
Yang unik dari falsafah tersebut adalah orang Madura menempatkan guru terlebih dahulu lalu pemerintah. Padahal biasanya masyarakat akan memilih orang pemerintahan dahulu, seperti yang terjadi di daerah saya. Seringnya masyarakat lebih hormat kepada kepala daerah dibandingkan dengan kyai atau sesepuh. Karena Kyai, umumnya cuma dianggap sebagai pemuka agama belaka.
Namun, apakah yang menjadikan guru, terlebih kyai di Madura begitu dihormati?
Rupanya, guru di Madura, terlebih kyai memiliki pengaruh yang besar dalam lini kehidupan masyarakat. Orang Madura menggantungkan banyak hal kepada para kyai, mereka tak segan untuk mengkonsultasikan hal-hal yang bersifat pribadi, misalnya perjodohan atau karir pada kaum kyai.
Awalanya, saya berpikir bahwa kepatuhan orang Madura yang berlebih kepada para kyai merupakan sebuah kebiasaan yang kolot dan terkesan feodal. Bukan tanpa alasan, dulu saya berpikir demikian lantaran memandang kyai juga sebagai manusia biasa, sama seperti yang lain. Maka harap dimaklumi jika cerita teman saya tentang orang-orang Madura yang menyerahkan segala urusan kepada kyai -lebih-lebih urusan yang bersifat pribadi, saya pandang sebagai sesuatu yang hiperbolis. Terlebih, bagi saya setiap manusia bisa memutuskan sesuatu sendiri lantaran setiap keputusan kembali ke diri mereka sendiri.
Di sisi lain, sebagian besar masyarakat Madura adalah muslim dan menempuh pendidikan di pesantren. Maka wajar apabila tradisi pesantren seperti sowan dan andhapashor (merendah kan diri serendah-rendahnya) kepada guru masih begitu melekat pada diri mereka.
Saking hormatnya orang Madura kepada kyai, doa seorang kyai dianggap manjur untuk pengobatan dan pelancar segala urusan. Yang lebih mencengangkan, di Madura seseorang dengan gelar professor sekalipun, jangan harap bisa dihormati apa bila tidak menghormati gurunya. Bagi orang Madura, orang yang lupa pada gurunya lebih pantas untuk dikucilkan.
Zaman boleh saja modern, namun keyakinan apada kyai bagi orang Madura masih tetap menjadi keajiban. Terlebih dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, bisa menjebak orang-orang pada ilusi sains. Maka di saat itu, peran seorang seperti kyai di kampung dapat menjadi perekat solidaritas dan ritual keagamaan.
Mungkin di sisi lain tak semua orang bisa menjadi figure seorang guru agama, meskipun gelar guru agama bisa di dapatkan melalui keturunan. Sehingga rasa sowan itu salah satu bentuk rasa hormat pada gurunya yang mengajarkan dan mendidik untuk menjadi manusia seutuhnya, tanpa ada ikatan apapun. Karena kedekatan yang terjalin antara masyarakat dan kyai, sehingga timbul rasa kepercaayaan dan menyerahkan kepada orang yang lebih paham mengenai masalahnya dan mungkin itu salah satu tradisi orang Madura.
Atau mungkin, orang Madura sangat memegang teguh sebuah sabda, jangan menyerahkan sesuatu bukan kepada ahlinya. Dan kyai di mata orang Madura, bukan sekedar ahli agama, bukan sekedar guru belaka. Lebih dari itu, kyai bagi mereka merupakan sosok teladang, orang yang patut di gugu dan ditiru.
The Chalk Giant
What do you know? The story tells about the giant sibling who have a unique names. The female giant was called Shine bacause she...
-
Larasati. Perempuan idealis, penuh semangat nasionalisme, dan cantik. Seorang aktris tersohor di masa revolusi, yang dikenal seluruh...
-
Judul : Entrok Karya : Okky Madasari Halaman : 286 hlm Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama Saat pertama melihat buku ini otak saya langsun...
-
Pulang. Novel Pemenang Katulistiwa Literary Award 2013. Novel yang berisi perlawanan, keluarga, cinta dan persahabatan. Jalan cerita yang la...