Selasa, 21 April 2020

Retardasi mental

Kesehatan merupakan salah satu anugerah dari Tuhan yang patut disyukuri tanpa kesehatan manusia tak akan bisa melakukan aktivitas seperti biasanya. Bagi saya arti sehat tidak hanya terletak pada fisik belaka, tetapi juga sehat secara jasmani dan rohani. Kesehatan rohani juga penting untuk keseimbangan jiwa, ketika seseorang mengalami ganggungan dalam jiwanya maka yang terjadi adalah ketidakseimbangan, sebagaimana yang terjadi pada mereka yang memiliki  kondisi keterbelakangan mental atau kecerdasan yang di bawah rata-rata.
Kondisi kesehatan itu sering saya temukan dalam kehidupan sehari-hari. Sepupu saya adalah salah satu dari mereka yang memiliki keterbelakangan mental sejak lahir. Sebenaranya, kelainan mental dapat disebakan oleh berbagai macam sebab, di antaranya kecelakaan saat mengandung, kelainan genetik ,atau bahkan penyakit.
Sayangnya, kondisi semacam sepupu saya itu, sering disalah artikan oleh masyarakan setempat. Pemikiran yang mengaitkan kondisi mental dengan mitos-mitos setempat masih banyak diyakini masyarakat. Akibatnya, beredar segala macam praduga dan pandangan miring, seperti terkena jampi-jampi. Namin, mitos yang paling diyakini adalah kondisi tersebut merupakani karma yang disebabkan perbuatan orang tuanya di masa lalunya. Karma itulah yang mengakibatkan kondisi tak lazim pada si anak.
Di masyarakat seringkali orang yang memiliki keterbelakangan mental dianggap lebih rendah dibandingkan dengan orang pada umumnya, sehingga diperlakukan seenaknya saja. Terkadang perlakuan yang sama didapatkan pula dari keluarga sendiri seperti dipasung agar tidak mengganggu warga lainnya atau sekedar untuk menyembunyikan aib anak mereka. Seringnya, keluarga merasa malu ketika salah satu anggota keluarganya memiliki keterbelakangan mental lantaran pandangan masyarakat yang menganggap ha tersebut merupakan sebuah bencana atau karma.
Pada akhirnya, ketika seorang penyandang dipasung maka semakin bertambahlah derita yang didapat. Selain tak mendapat kebebasan, ia juga akan kehilangan teman serta mempersempit potensinya untuk berkembang. Rasanya, pemasungan kurang tepat apabila diterapkan kepada  mereka yang mengalami keterbelakangan mental. Sebab selain bertentangan dengan hak asasi sebagai manusia,  rasanya lebih baik jika mereka dibiarkan membaur dengan masyarakat sekitar, tentu dengan pengawasan.
Sebab bagaimana pun, mereka tetap membutuhkan interaksi sosial untuk perkembangan otaknya. Selain itu mereka juga perlu untuk memahami lingkungan sekitar dan yang paling penting adalah pendidikan. Memasing mereka tak ubahnya merenggut kebebasan dan hak mereka sebagai manusia.
Meskipun memiliki kecerdasan dibawah rata-rata, namun bukan berarti mereka tak memiliki potensi untuk mengembangkan diri. Malahan, Sering dari anak yang memiliki keterbelakangan mental meraih penghargaan, di berbagai kacah perlombaan. Maka dari itu, masri berhenti memandang mereka dengan sebelah mata.
Oleh karena hal-hal itu, salah apabila di antara kita masih mengucilkan mereka. Sebab, seyogyanya mereka membutuhkan dukungan dan pengertian untuk terus berproses dan mengembangkan dirinya. Untuk mewujudkan itu, pandangan miring maupun mitos yang kita sematakan pada mereka maupun keluarganya perlu segera dihapuskan. Pengucilan, intimidasi, dan kekerasan baik verbal maupun non verbal yang sering didapat orang-orang berkebutuhan khusus tersebut mesti kita cegah.
Sebab, pada hakikanya kita dan mereka adalah sama. Kita dan mereka adalah manusia yang  menikmati kebabasan dan hak-hak sebagai manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The Chalk Giant

What do you know? The story tells about the giant sibling who have a unique names. The female giant was called Shine bacause she...