Minggu, 15 Agustus 2021

Eksil Tahanan Politik

Judul : Pulang
Karya : Leila S. Chudori
Halaman : 552 hlm
ISBN : 978-979-91-0515-8



Novel Pulang yang berlatar belakang kisah G 30S/PKI, menceritakan beberapa kekejaman pada masa orde baru. Leila sangat membuat para pembaca bergetar ketika mengetahui betapa pilunya nasib eks tahanan politik. Semua yang dipaparkan  menceritakan benar apa adanya, karena isi dari buku tersebut adalah hasil wawancara dengan eksil politik dan eks tahanan politik dengan narasi yang menggunakan sudut pandang berbeda. 

Dimas  Suryo sebagai tokoh utama harus melewati pilunya hidup di masa itu. Dimas menjadi tahanan politik dan buronan karena dianggap pengikut PKI sebab tempat dimana mereka bekerja, pemimpinnya adalah pro PKI, kecuali Tjai sehingga mereka terkena dampaknya. Akibatnya Dimas kehilangan hak asasi dan juga kewarganegaraan. Padahal, Dimas adalah seorang tendensi politik netral. Ia bergaul dengan simpatisan komunis dan juga banyak berdiskusi dengan orang lajur kanan. 

Diluar sana, juga banyak orang Indonesia yang ditangkap tanpa alasan dan tanpa proses pengadilan. Sebagian dari  mereka dianggap pro PKI seperti Dimas sangat dikucilkan masyarakat, KTP berlabel khusus PKI, tidak dapat pekerjaan, tidak mendapatkan hak bersuara, dan korban membatasi diri dari pergaulan sosial.
Diskriminasi juga terjadi pada keturunan mereka secara turun menurun. Seakan-akan itu sudah menempel permanen di wajahnya, yang tidak terlibat menjadi korban dan merasakan dampaknya. Mereka ditangkap, dituduh, kekerasan tanpa alasan yang jelas dan tidak diselidiki lebih lanjut.

Akibat paspor yang dicabut, Dimas menggembara ke beberapa negara hingga akhirnya menetap di Prancis. Tetapi keadaan di Prancis tidak jauh dengan Indonesia, bulan Mei 1968 di Prancis terjadi revolusi mahasiswa. Sedangkan, di Indonesia pada September 1965 juga terjadi pemberontakan mahasiswa untuk melengserkan pemerintah Orde Baru dan di tahun 1965 terjadi peristiwa G 30S/PKI. 

Beberapa mahasiswa yang dikirim ke luar negeri di cap sebagai komunis. Mereka hidup dalam bayang-bayang rezim Soeharto, gerak geriknya diawasi dan tidak boleh terlibat politik, serta wajib mempromosikan nama baik Indonesia. Meskipun tinggal di luar negeri, di kantor kedutaan mereka diperlakukan seperti pelaku kriminal dan diinterogasi oleh militer. Selain itu, duta besar rezim Soekarno diturunkan oleh Soeharto, mereka para eksil tidak dipulangkan karena rezim Soeharto takut hadirnya intelektual yang loyal pada Soekarno. Bahkan eksil tersebut berseberangan ideologi nya dengan PKI. 

Di zaman Soeharto siapapun bisa ditangkap dan dibunuh tanpa alasan yang jelas atau tuduhan pro PKI ditahan bahkan dimusnahkan. Seseorang yang mengeluarkan suaranya dituduh sebagai makar, rakyat harus patuh kepada pemerintah dan tidak perlu adanya perlawanan. 

Kasus makar dan eksil tahanan politik menjadi polemik sendiri. Hukum yang diberikan pada mereka berlebihan, sebab beberapa tahanan politik dihukum seumur hidup atau keringanan. Ini akan melanggar hak asasi apabila tuduhan yang diberikan tidak benar dan tidak ada tindakan makar. Semestinya diklarifikasi dahulu adanya tindakan atau tidak. Kalau asal tuduh semua orang unjuk rasa dinilai makar ya. Pemerintah terlalu paranoid jika rakyat melakukan makar.

Kesalahpahaman seperti yang di alami oleh Dimas, juga pernah terjadi pada saat ini. Beberapa mahasiswa papua diduga melecehkan tanah air dengan cara merobohkan tiang bendera Merah Putih. Adanya tuduhan itu, pemuda, aparat, dan TNI mengepung asrama mahasiswa Papua mengolok-olok mahasiswa ‘monyet’ yang menunjukkan tidak ada rasa kemanusiaan. 

Spontan aksi unjuk rasa anti-rasisme merebak di berbagai kota. Saat unjuk rasa terjadi, salah seorang aktivis perempuan ditahan dan dituduh sebagai makar. Perempuan itu ditahan selama tujuh puluh tujuh hari dengan alasan melakukan tindakan makar memegang bendera Bintang Kejora di unjuk rasa. Ada lima orang yang dituduh demikian, semua disangkut pautkan pada makar. Padahal perempuan dan aktivis lainnya hanya mengikuti dan menanggapi protes kasus rasisme di Surabaya, tanpa bertujuan makar dan sebagainya. Semestinya yang diusut adalah pelaku ujarannya ‘monyet’, bukan para demonstran yang melakukan unjuk rasa di publik. 

Adapun gerakan separatisme di Papua oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) dengan tujuan memisahkan diri dan mencapai kemerdekaan. Gerakan separatisme ini mengingatkan dengan ideologi PKI yang  memilih memisahkan diri dan mengganti ideologi negara. Tetapi, OPM ini ada karena faktor kurangnya pelayanan pemerintah, kepentingan politik, kebijakan yang tidak berpihak rakyat, dan sebagainya. Supaya tidak terjadi demonstrasi atau pelengseran, separatisme, dan tahanan politik, diperlukan kesadaran dari pemerintah ke rakyatnya.

Dengan adanya novel Pulang merefleksikan masa Orde Baru dan menjadi tamparan bagi pemerintah untuk menangani tindakan represif tahanan politik sekarang. Kurangnya literatur tahanan politik membuat masyarakat tidak mengetahui dan abai. Sampai tetek bengek PKI yang melakukan kudeta presiden Soekarno, hingga chaos-nya Indonesia. Novel ini memberikan pengetahuan baru, kesedihan sanak keluarga tapol tidak luput dari interograsi dan sikap pemuda yang kritis pemerintahan yang tidak tertulis dalam buku sejarah sekolah.

Selain itu, perlu adanya penjelasan konktrit terhadap suatu masalah yang terjadi, jangan asal tuduh tanpa ada kebenaran. Leila juga mengingatkan bahwa perlu adanya bentuk perlawanan sehat terhadap kasus yang tidak sesuai dengan kenyataan atau tuduhan seperti, menyuarakan suara rakyat tanpa takut untuk dibungkam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The Chalk Giant

What do you know? The story tells about the giant sibling who have a unique names. The female giant was called Shine bacause she...