Jumat, 07 Mei 2021

Sastra dan Feminisme


Diskriminasi perempuan sebenarnya sudah terjadi sebelum Islam datang. Posisi perempuan selalu menjadi obyek pemuas nafsu laki-laki dan diibaratkan seperti barang yang diperjual belikan. Akibat penindasan terhadap perempuan tersebut, muncullah gerakan feminisme yang memperjuangkan kesetaraan gender.

Feminisme berawal dari gerakan perempuan yang memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan. Mengingat posisi perempuan selalu dianggap lemah dan mengalami diskriminasi, sedang kaum laki-laki selalu mendominasi. Maka muncul keinginan untuk memberontak.

Meskipun feminisme sudah ada, masyarakat Indonesia masih mengamini paham patriaki. Bahkan, paham patriaki sampai berlaku dalam karya sastra. Perbedaan antara sastrawan perempuan dan sastrawan laki-laki sangat terlihat. Kebanyakan sastrawan laki-laki lebih menggunakan sudut pandang kaum laki-laki dan posisi perempuan sebagai korban. Berbeda dengan perempuan, meskipun menggunakan sudut perempuan sendiri tetapi tidak menjadikan laki-laki menjadi korban. Justru kebanyakan lebih menyuarakan suara perempuan.
         
Pembahasan tentang perempuan atau feminisme selalu menjadi topik menarik di kalangan orang awam. Dalam sastra selalu diibaratkan perempuan memiliki sifat yang lemah dan hanya sebagai alat pemuas. Seperti di novel Perempuan di Titik Nol, tokoh utama didiskriminasi secara seksual seperti pelacur. Begitu juga dalam novel Gadis Pantai, dimana posisi perempuan masih direndahkan.
       
Bentuk perlawanan kaum feminis tidak hanya diukur dari keberhasilan perempuan menjadi setara dengan laki-laki. Entah, dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan dan lainnya. Sebenarnya, dengan menulis juga merupakan bentuk perlawanan oleh kaum feminisme dalam memperjuangkan haknya.
       
Namun, kemunculan karya sastra perempuan masih saja dipandang sebelah mata. Menurut Sunarto sastrawan Indonesia, kemunculan sastrawan perempuan tak lebih hanya sebagai tren belaka. 
       
Karya sastra oleh sastrawan perempuan dinilai kontroversial karena pembahasannya hanya mengenai seksualitas. Mengapa ketika perempuan membahas seksualitas selalu dianggap konservatif dan tabu? Bukankah wajar jika sastrawan perempuan menulis mengenai seksualitas karena perempuan juga memiliki hak atas tubuhnya masing-masing. 
        
Selain itu, aktivitas serta pengalaman sastrawan perempuan dianggap terbatas. Karena masyarakat yang masih bersikap konservatif maka sastrawan perempuan selalu direndahkan. Hal ini menyebabkan sastra perempuan mengalami kemunduran.
       
Begitu juga dalam penulisan sastra, pemikiran sastrawan perempuan yang dituangkan dalam karyanya juga tidak ada bedanya, tidak hanya melulu tentang kesetaraan gender. Seperti karya Leila S. Cudori yang membahas Hak Asasi Manusia dalam bukunya Laut Bercerita. Hal ini menunjukkan, bahwa semua penulis berhak mengkritik atau mengeluarkan ide-ide dan imajinasi mereka. 
        
Kemunculan sastrawan perempuan di Indonesia, sebenarnya sudah ada sejak tahun 1930-an, salah satu sastrawan perempuan yaitu Selasih dan Kartini. Sedangkan di era 2000-an penulis perempuan sudah banyak ditemui, seperti Dee Lestari, Ayu Utami, Laila dan lain sebagainya.
         
Perjuangan feminisme dalam sastra tidak hanya disinggung oleh kaum perempuan saja. Ada beberapa sastrawan laki-laki seperti Eka Kurniawan yang menjelaskan feminisme dalam bukunya yang berjudul Cantik Itu Luka. Selain itu, ada juga buku Larasati karya Pramoedya Ananta Toer.
Dari beberapa buku yang saya baca, Minat perempuan dalam satra masih sedikit. Masih jarang perempuan yang memiliki ciri khas pada karyanya. Tidak seperti dalam novel Cantik Itu Luka, penulis memakai bahasa yang frontal.
          
Namun jangan salah sangka, karya-karya sastrawan perempuan juga memiliki pengaruh terhadap gerakan feminisme, karya-karya mereka ditulis dalam buku sehingga bisa dibaca oleh masyarakat. Dari pengalaman penulis yang ditulis mebuat pembaca menghayati dan menjadi inspirasi bagi perempuan lain. 
           
Terlepas dari buku yang berisi seksualitas, penulis sebenarnya bebas membahas apapun. Alangkah baiknya, pembaca tidak menghakimi isi dari buku tersebut karena setiap penulis memiliki sudut pandang yang berbeda. Setiap karya sastra pasti mengandung pesan dan makna tersendiri, serta bentuk kepedulian sosial dan kritik sosial.
         
Selain itu, seharusnya dalam sastra tidak perlu ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan karena dalam penulisan atau pemikirannya pun tidak memiliki perbedaan. Jika adanya perbedaan, menjadikan ruang gerak bagi sastrawan perempuan akan berkurang dan imajinasi pembaca akan terbatas dan tidak bisa bebas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The Chalk Giant

What do you know? The story tells about the giant sibling who have a unique names. The female giant was called Shine bacause she...