Minggu, 08 Desember 2019

PULANG

Pulang. Novel Pemenang Katulistiwa Literary Award 2013. Novel yang berisi perlawanan, keluarga, cinta dan persahabatan. Jalan cerita yang lambat, tapi membuat rasa penasaran. Dengan latar belakang Indonesia dan Prancis.

Novel yang menggambarkan gejolak politik di Indonesia pada September 1965 dan 1998 serta Prancis Mei 1968.
Pada September 1965, munculnya Komunis atau paham kiri hingga peristiwa G 30S/PKI yang berakibat pada keluarga diintrogasi, dikucilkan oleh publik, tak ada akses untuk bekerja di pemerintahan sampai ada tanda khusus di KTP seorang komunis. Hingga Dimas Suryo (netral), Hananto dan Nugroho (pro PKK) dkk menjadi tapol dan mengungsikan diri ke luar negeri. Meskipun peristiwa tersebut telah usai, keluarga tetap merasakan dampaknya.

Indonesia Mei 1998, terjadi banyak tragedi, misal tanggal 13-14 Mei terjadi kerusuhan rasial kepada etnis Tionghoa, kritik terhadap pemerintah Orde Baru dan keruntuhan akibat krisis finansial Asia dan masih banyak kejadian lain. Pada 21 Mei 1998 berakhirnya masa Orde Baru.

Sedang di belahan bumi lain, tepatnya di Prancis di tahun yang berbeda di bulan yang sama Mei 1968 terjadi demonstrasi karena ketidakpuasan terhadap pemerintah dan tatanan sosial. Peristiwa yang diawali oleh mahasiswa dan pelajar hingga kaum buruh. Prancis yang konservatif, konsumtif menjadi Liberte, Egalite, Fraternite. Hingga melahirkan Revolusi 1789.

Bagi saya, aksi masa yang dilakukan mahasiswa di Prancis tahun 1968 sama dengan aksi mahasiswa tahun 2019 yang baru baru saja terjadi karena memprotes beberapa pasal-pasal RUU KUHP. Dari mahasiswa hingga pelajar.

     'Generasi baru yang merasa tidak bisa didekte oleh sesuatu yang mereka anggap tidak rasional. Mereka adalah generasi baru yang cerdas, yang mulai berpikir mandiri'

Fyi, secara garis besar novel ini memaparkan tentang 4 seorang pria yang menjadi tapol di Indonesia. Pergi ke Prancis mendirikan sebuah restoran dan melakukan perlawanan.

Sabtu, 23 November 2019

LAUT BERCERITA KARYA LEILA S CHUDORI

Novel Laut Bercerita memakai dua sudut pandang dari Biru Laut sebagai korban dan Asmara Jati dari keluarga korban. Buku setebal 379 halaman ini menggambarkan betapa kejamnya rezim saat itu, yang kritis dibungkam, rakyat hidup dalam tekanan dan banyak orang diculik tak pernah kembali.
      Selain itu, novel ini fiktif tapi terasa nyata, sungguh. Hingga saya meneteskan air mata dibuat merinding akan jalannya cerita, karena penulis mampu menggambarkan betapa tersiksa dan menderitanya aktivis, persahabatan, dan psikologis keluarga yang kehilangan dan tak pernah kembali. Ditambah cover yang menarik mata dan try to read this book dikemas dengan latar belakang sejarah, berdasarkan kisah nyata namun mudah dipahami.

         Matilah engkau mati
         Kau akan lahir berkali-kali...
        
         Recommended bagi yang suka novel berlatar belakang sejarah.

Rabu, 20 November 2019

LARASATI

        Larasati. Perempuan idealis, penuh semangat nasionalisme, dan cantik. Seorang aktris tersohor di masa revolusi, yang dikenal seluruh rakyat, pria berotak dan berjantungpun akan memujanya serta ingin memiliki tubuhnya. Sebagai perempuan yang berkecukupan di masa hidupnya, Larasati dengan kecantikannya bisa melacurkan dirinya dan dia bangga akan kecantikannya sehingga bisa berbuat semaunya terhadap laki-laki.
          Sebagai seorang aktris tersohor dia tak akan mau main propaganda Belanda untuk memusuhi revolusi. Hal ini dibuktikan ketika Larasati diminta untuk membintangi sebuah film perempuan pemberontak  terhadap penjajah, tapi tawaran itu ditolak olehnya. Meskipun dia di iming-iming dengan uang dua kali lipat honor yang ditetapkan. Karena rasa cintanya pada tanah air, dibuktikan dengan dia ikut melawan penjajah bersama pemuda di kampungnya, meskipun memakai rok tak menjadi penghalang untuk melawan musuh. Bagi saya, Larasati adalah sosok Kartini di era kolonial yang melakukan perlawanan kepada penjajah dengan caranya sendiri.
             Semoga di zaman millenial ini, ada perempuan dengan jiwa Ibu Kartini.
            

Kamis, 07 November 2019

Cantik Itu Luka

        Ini buku pertama Eka Kurniawan yang saya baca, Cantik Itu Luka. Saat pertama baca saya scared dengan bahasanya yang frontal dan vulgar ditambah sejarah, mitos dan penyimpangan seksualitas. Bagi saya salah satu yang menarik dari buku ini adalah penyimpangan seksualitas yg dilakukan para tokohnya. Penyimpangan yang dilakukan berbagai macam
          Yang pertama adalah Incest. Terjadi pada pasangan Henri Stammler dan Aneu Stammler, which was mereka adalah kakak beradik yang berbeda ibu. Keduanya jatuh cinta dan ketauan tengah bercinta hingga meninggalkan Dewi Ayu di depan pintu. Berlanjut hingga di keturunan Dewi Ayu, yang terjadi pada Krisan ( putra Kamerad Kliwon dan Adinda) yang memperkosa sepupunya sendiri, Rengganis ( putri Maman Gendeng dan Maya Dewi) serta meniduri bibinya sendiri, Si Cantik.
          Kedua, Sadomasokisme. Tercermin pada perilaku Sang Shodanco yang memperkosa Alamanda (istrinya) dengan keadaan diikat di kasur dan telanjang bulat
          Ketiga, Bestiality. Kisah Rengganis Sang Putri mengawini seekor anjing saat di Halimunda, kembali terjadi pada Rengganis, putri Maman Gendeng yang mengatakan diperkosa oleh seekor anjing dan hamil. Ini sama seperti cerita rakyat yang terjadi ke Dayang Sumbi menikah dengan Tumang, seekor anjing.
          Keempat, Pedofilia. Pernikahan dibawah umur terjadi pada Maman Gendeng yang dikawinkan dengan Adinda, saat berumur dua belas tahun. Pernikahan dibawah umur kerap terjadi di Indonesia, terutama di daerah pedesaan, salah satu faktornya orang tua dalam pembentukan diri remaja dengan alasan calon pria sudah mapan dan dewasa.
          Kelima,  Spectrophilia. Kecenderungan seksual ini, mereka yang melakukan hubungan dengan roh atau hantu. Mungkin terdengar tidak logis, tapi itulah yang terjadi pada Si Cantik yang jatuh cinta dan bersenngama dengan pria yang tidak nampak, tidak bisa dilihat oleh ibunya ataupun Rosinah.
          Sebab cantik itu luka. (hal 478)
Bagi saya kalimat itu, kehidupan mereka tidak seelok wajah yang mereka miliki. Sekian dan terima kasih
          

Kamis, 03 Oktober 2019

Perempuan Di Titik Nol

Judul                   :  Perempuan Di Titik Nol
Nama Penulis      :  Nawal el - Saadawi
Penerjemah         :  Amir Sutaarga
Penerbit               : Yasasan Pustaka Obor Indonesia        
Halaman              :   176 halaman

Novel ini menggambarkan bagaimana kehidupan masyarakat Mesir, terutama perempuan Mesir di tahun 1973, yang mana di zaman itu perempuan di nomor duakan dan dikesampingkan. Pemegang kekuasaan tertinggi adalah kaum laki-laki, budaya patriarki melekat di Negeri Piramid. Seperti kutipan dalam novel ini " Jika salah satu anak perempuannya mati, Ayah akan menyantap makan malamnya, Ibu akan membasuh kakinya, dan kemudian ia akan pergi tidur, seperti ia lakukan setiap malam. Apabila yang mati itu seorang anak laki-laki, ia akan memukul Ibu, kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur".
Dari kutipan diatas, saya berpikir bahwa tugas perempuan hanya dijadikan budak pemuas nafsu, dan tugasnya hanya macak, manak, masak (berdandan, beranak, memasak) dan tidak di izinkan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya, sampai di jenjang sekolah menengah saja. Dan kesempatan bekerja pun kecil, tidak memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin di perusahaan, hanya seorang karyawati atau buruh kelas bawah. Tokoh utama novel ini mengalami dan menggambarkan bagaimana budaya patriarki.
Di zaman modern sekarang, budaya patriarki tetap ada, namun berbeda cara penjajahannya. Sekarang ini perempuan mengalami pelecehan seksual secara verbal, seperti catcall atau harrasment street. Budaya patriarki memposisikan pihak laki-laki adalah pihak yang gagah dan memiliki keleluasaan untuk melakukan apapun, sementara perempuan dianggap lemah. Gaya kepenulisan penulis mampu membawa para pembaca menyelami kehidupan tokoh utama dan di tulis berdasarkan kisah nyata.

Senin, 09 September 2019

RESENSI GADIS PANTAI

     Diceritakan seorang gadis yang tumbuh di pesisir pantai di lingkungan nelayan. Di daerah Blora, Jawa Tengah. Gadis Pantai memiliki kulit kunang langsat dengan badan yang mungil. Di usia yang masih belia Gadis Pantai  diminta oleh seorang priyayi, kemudian dibawa ke kota untuk bertemu dengan sang pembesar. Meskipun Gadis Pantai menolak saat diminta oleh seorang priyayi, tetapi kedua orangtuanya meyakinkan nya dengan dalih dia tidak akan hidup sengsara, seperti yang dialami kedua orangtuanya.
      Setelah menikah ia mendapat gelar Mas Nganten, istilah ini merupakan istilah untuk perempuan yang melayani seks bagi seorang priyayi sampai seorang priyayi memutuskan untuk menikah dengan perempuan dari golongan yang sederajat dengan mereka. Selain itu, novel ini menunjukkan tentang  kesenjangan sosial dan ketidakadilan gender.

The Chalk Giant

What do you know? The story tells about the giant sibling who have a unique names. The female giant was called Shine bacause she...