Selasa, 10 Maret 2020

      Keistimewaan Seorang Guru di Madura

 
       Bhuppa, bhabhu, ghuru, rato merupakan salah satu falsafah yang dipegang teguh orang Madura. Ungkapan yang bermakna ayah, ibu, guru ratu tersebut merupakan manifestasi dari kepatuhan orang Madura kepada figur-figur yang disebut.
        Adanya ungkapan itu, secara tersirat menyatakan bahwa tokoh-tokoh yang disebut merupakan seseorang yang mesti di hormati oleh setiap Madura. Orang tua menempati urutan pertama yang disebut. Hal tersbut barangkali lantaran mengingat ayah yang bekerja keras dan ibu yang melahirkan, merawat dan mendidik sedari kecil.
        Yang unik dari falsafah tersebut adalah orang Madura menempatkan guru terlebih dahulu lalu pemerintah. Padahal biasanya masyarakat akan memilih orang pemerintahan dahulu, seperti yang terjadi di daerah saya. Seringnya masyarakat lebih hormat kepada kepala daerah dibandingkan dengan kyai atau sesepuh. Karena Kyai, umumnya cuma dianggap sebagai pemuka agama belaka.
         Namun, apakah yang menjadikan guru, terlebih kyai di Madura begitu dihormati?
Rupanya, guru di Madura, terlebih kyai memiliki pengaruh yang besar dalam lini kehidupan masyarakat. Orang Madura menggantungkan banyak hal kepada para kyai, mereka tak segan untuk mengkonsultasikan hal-hal yang bersifat pribadi, misalnya perjodohan atau karir pada kaum kyai.
         Awalanya, saya berpikir bahwa kepatuhan orang Madura yang berlebih kepada para kyai merupakan sebuah kebiasaan yang kolot dan terkesan feodal. Bukan tanpa alasan, dulu saya berpikir demikian lantaran memandang kyai juga sebagai manusia biasa, sama seperti yang lain. Maka harap dimaklumi jika cerita teman saya tentang orang-orang Madura yang menyerahkan segala urusan kepada kyai -lebih-lebih urusan yang bersifat pribadi, saya pandang sebagai sesuatu yang hiperbolis.  Terlebih, bagi saya setiap manusia bisa memutuskan sesuatu sendiri lantaran setiap keputusan kembali ke diri mereka sendiri.
        Di sisi lain, sebagian besar masyarakat Madura adalah muslim dan menempuh pendidikan di pesantren. Maka wajar apabila tradisi pesantren seperti sowan dan andhapashor (merendah kan diri serendah-rendahnya) kepada guru masih begitu melekat pada diri mereka.
        Saking hormatnya orang Madura kepada kyai, doa seorang kyai dianggap manjur untuk pengobatan dan pelancar segala urusan. Yang lebih mencengangkan, di Madura seseorang dengan gelar professor sekalipun, jangan harap bisa dihormati apa bila tidak menghormati gurunya. Bagi orang Madura, orang yang lupa pada gurunya lebih pantas untuk dikucilkan.
        Zaman boleh saja modern, namun keyakinan apada kyai bagi orang Madura masih tetap menjadi keajiban. Terlebih dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, bisa menjebak orang-orang pada ilusi sains. Maka di saat itu, peran seorang seperti kyai di kampung dapat menjadi perekat solidaritas dan ritual keagamaan.
       Mungkin di sisi lain tak semua orang bisa menjadi figure seorang guru agama, meskipun gelar guru agama bisa di dapatkan melalui keturunan. Sehingga rasa sowan itu salah satu bentuk rasa hormat pada gurunya yang mengajarkan dan mendidik untuk menjadi manusia seutuhnya, tanpa ada ikatan apapun. Karena kedekatan yang terjalin antara masyarakat dan kyai, sehingga timbul rasa kepercaayaan dan menyerahkan kepada orang yang lebih paham mengenai masalahnya dan mungkin itu salah satu tradisi orang Madura.
       Atau mungkin, orang Madura sangat memegang teguh sebuah sabda, jangan menyerahkan sesuatu bukan kepada ahlinya. Dan kyai di mata orang Madura, bukan sekedar ahli agama, bukan sekedar guru belaka. Lebih dari itu, kyai bagi mereka merupakan sosok teladang, orang yang patut di gugu dan ditiru.

The Chalk Giant

What do you know? The story tells about the giant sibling who have a unique names. The female giant was called Shine bacause she...